Pantaskah antara cisgender perempuan dan transgender perempuan memperebutkan laki-laki?


Suatu hari salah satu kenalan saya di Facebook yang kebetulan seorang transseksual perempuan berkeluh kesah di laman akunnya. Intinya dia kesal ketika salah satu teman perempuannya yang kebetulan cisgender menjelek-jelekkan dirinya pada lelaki cisgender yang kebetulan sedang mendekatinya di sebuah bar ternama di Amerika. Kutipan percakapan si perempuan cisgender itu kira-kira begini, “Hey kamu tahu tidak, dia itu kan lelaki yang sudah operasi jadi perempuan, ngapain kamu dekati dia lebih baik sama aku saja!” ucapnya dengan bangga. Terang saja si perempuan yang dikata-katain itu berusaha mendamaikan dirinya betapa istimewanya dia terlahir sebagai transseksual yang mampu memadupadankan sisi maskulin dan feminin jauh lebih berani dan mendalami dibandingkan kehidupan yang biasa-biasa sebagaimana banyak dialami oleh cisgender. “Menjadi transseksual itu bukan seperti membalikkan telapak tangan dalam sekejap!” begitu kira-kira isi pesan yang bisa saya tangkap darinya.

Kalau kita berangkat pada realita sosial yang berkembang di masyarakat, fenomena transgender itu sering jadi topik berita bukan? Baik itu di Amerika ataupun di Indonesia, transgender itu bukanlah sesuatu yang ‘asing’ sebenarnya. Karena ketika kita menilik pada perkembangan sejarah, sosio-kultural, maupun psikologi keberagaman identitas gender itu sebagai bagian dari dinamika yang tidak terindahkan. Walaupun pada konteks yang lebih luas bisa dianggap liyan ketika dibenturkan antara apa itu kelompok mayoritas dan minoritas.

Di Indonesia sendiri, istilah transgender itu pun baru mulai digaungkan secara masif oleh media massa sekitar tahun 2000-an, karena sebelumnya masyarakat kita cenderung hanya mengenal pemaknaan waria yang didefinisikan wanita-pria atau lebih condong pada gender ketiga. Padahal pemakaian istilah waria itu sendiri jadi semakin rancu bila kita dihadapkan pada terminologis transgender sebagai payung dari fenomena keberagaman identitas gender tersebut.

Apa itu transgender dan cisgender?

Cisgender adalah label identitas yang berkesesuaian semenjak dilahirkan. Sedangkan transgender itu berkebalikan, yaitu adanya ketidaksinkronan label identitas yang dikategorikan semenjak lahir. Transgender itu bisa kita sebut transseksual, transvestit, ataupun bagian dari tampilan cross-dresser (lintas busana). Akan tetapi, kenyataannya kita selalu memersepsikan transgender itu adalah ketika secara fisik kita anggap seseorang itu ‘laki-laki’ lalu mau jadi perempuan. Padahal transgender itu bisa jadi berkebalikan yaitu ketika secara fisik kita anggap seseorang itu ‘perempuan’, padahal laki-laki.

mic

Fenomena ini menjadi semakin rumit di kalangan awam karena cenderung dikait-kaitkan pada aktivitas homoseksual. Apalagi si empunya identitas ‘transgender’ itu sendiri tidak sadar akan dirinya. Sehingga semakin besarlah stigma yang dimunculkan, baik kepada diri si transgender itu maupun lingkungan sosialnya. Dari aspek klinis-kognitif beberapa penelitian bahkan berusaha mengkategorikan spektrum-spektrum transgender itu untuk lebih mudah memahaminya. Jadi sangat disayangkan ketika kita dengan gampangnya mendiskreditkan dan mem-bullying transgender karena ketidaktahuan sebahagian besar masyarakat kita. Karena menurut hemat saya, keberagaman identitas gender itu bukan jadi mengucilkan esensi kemanusiaan individu, tetapi seharusnya memperkaya khasanah keilmuwan kita bahwa menjadi laki-laki dan perempuan tidak segampang kita menguliti oposisi biner antara maskulin dan feminin.

Otoritas Tubuh, Kategorisasi Diri, dan Intimasi

Kalau kita kembali pada kasus yang saya telah paparkan di muka. Ada semacam kecemburuan dan ancaman antara cisgender perempuan dan transgender perempuan. Keduanya bisa kita kategorisasikan sebagai perempuan terlepas bahwa transgender atau transseksual itu telah melakukan penegasan kelamin melalui surgery ataupun tidak. Lagi-lagi pemahaman masyarakat awam mestinya dikuliti satu per satu bahwa ketika membicarakan transgender itu bukan sekedar operasi atau tidak operasi. Begitu pula ketertarikan seksual yang terjadi antara transgender perempuan dengan cisgender laki-laki. Karena dari beberapa observasi ditemukan bahwa cisgender laki-laki itu tertarik berhubungan dengan transgender perempuan memersepsikan bahwa hubungan yang dijalin tersebut selayaknya heteroseksual dan sama sekali tidak berkorelasi secara signifikan antara yang operasi ataupun tidak. Aspek femininitas yang tinggi pada transgender perempuan yang kemungkinan bisa diasumsikan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebahagian laki-laki cisgender.

Intimasi dan kategorisasi diri ini yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk dilakukan penelitian-penelitian lanjutan tentang bagaimana pola relasi yang terjalin baik itu berkembang  secara psikologis dan mental antara transgender laki-laki dan transgender perempuan dan kaitannya terhadap cisgender. Selain itu, bagaimana dinamika sosial yang terjadi antara transgender dan homoseksual, apakah eksklusifitas di antara keduanya bisa terpecahkan ketika dibenturkan dengan kehadiran cisgender? Karena ketika kita mengaitkannya pada aspek sosio-kultural, perasaan terancam itu bisa menjadi cara ampuh yang tidak terbatas pada siapa yang paling cantik dan siapa yang bukan toh? Karena pemantik dari perasaan terancam itu bisa dimungkinkan dari segala penjuru. Sesama cisgender pun ada banyak yang saling sikut-menyikut untuk memperoleh tujuan yang diikhtiarkan. Oleh karena itu ketika dipertanyakan apakah pantas cisgender dan transgender memperebutkan sesuatu, tentu saja tergantung dari sejauhmana prosedur untuk mendapatkannya kita sebut sebagai cara-cara yang adil. Tapi kalau objeknya adalah laki-laki, maka sudah barang tentu dipertanyakan lagi sudah seberharga itukah laki-laki itu sehingga pantas untuk diperebutkan? Lagi-lagi kita bisa memakai sudut pandang primitif dalam berkompetisi atau unjuk jari akan berharganya diri kita sendiri bahwa hidup ini jauh lebih baik ketika kita tahu bahwa pencapaian orgasme itu tidak harus dari sebatang penis kok.

Jadi dalam menyambut TDOR 2016 (Transgender Day of Remembrance 2016) yang jatuh pada 20 November ini, kita sama-sama berkaca ulang bahwa transgender itu sama saja selayaknya cisgender dimana punya hati untuk saling mencintai. Hanya manusia berhati iblis saja yang dengan tega menebar kebencian dan rasa ketidakadilan.

 

Daftar Pustaka:

Gamarel, K. E., Reisner, S. L., Laurenceau, J. P., & Nemoto, T. (2014). Gender Minority Stress, Mental Health, and Relationship Quality: A Dyadic Investigation of Transgender Women and Their Cisgender Male Partners. Journal of Family Psychology, Vol. 28, No. 4, pp. 437 – 447.

Galupo, M. P., Bauerband, L. A., Gonzalez, K. A., Hagen, D. B., Hether, S. D., & Krum, T. E. (2014). Transgender friendship experiences: Benefits and barriers of friendships across gender identity and sexual orientation. Feminism & Psychology, DOI: 10.1177/0959353514526218

Schilt, K., & Westbrook, L. (2009). “Gender Normals,” Transgender People, and the Social Maintenance of Heterosexuality. Gender & Society, Vol. 23, No. 4, pp. 440 – 464. DOI: 10.1177/0891243209340034

Tate, C. C., Youssef, C. P., & Bettergarcia, J. N. (2014). Integrating the Study of Transgender Spectrum and Cisgender Experiences of Self-Categorization From a Personality Perspective. American Psychological Association, Vol. 18, No, 4, pp. 302 – 312.